Minggu, 15 September 2013

MENCARI JATI DIRI

Hidup ialah sebuah perjalanan dari ranjang kelahiran menuju pintu kematian. Kehidupan ialah seibarat tanah lapang yang kita jumpai di dalam perjalanan yang harus dilalui.
Terkadang, seseorang menghabiskan masa hidupnya sampai tujuh puluh atau delapan puluh tahun hanya untuk menempuh jarak yang tak sampai beberapa puluh kilometer saja. Yakni, jarak dari tempat di mana ia dilahirkan ke tempat di mana ia dikuburkan. Tak seorangpun tahu  berapa lama ia akan hidup di dunia ini, karena kematian selalu mengintainya dari dekat, bagai penyamun yang mengendap-endap siap menerkam, menunggu lengah. Tak seorangpun dapat memastikan apakah ia masih bernafas esok hari.
Ketika Tuhan berkehendak menciptakan kita, pada awalnya kita ini hanyalah sebuah noktah zarah berupa tanah, terhimpit di antara hamparan tanah lainnya di bumi yang amat luas ini. Kemudian Dia mengubah bentuk fisik ini menjadi berbagai bentuk fisik lain secara bertahap. Menjadi zat Hara yang diserap oleh akar tanaman. Menjadi makanan yang direjekikan kepada manusia. Menjadi hormon di dalam tubuh. Lalu menjadi setitik nutfah.
Ketika kita lahir dari rahim ibu, secara jasmaniah tubuh kita mulai terwujud di dunia ini. Lalu kita dipupuk menjadi besar, semakin besar, sehingga dewasa. Pada usia belasan atau dua-tiga puluhan tahun, kita mengalami masa-masa penuh kekuatan, tenaga, dan keperkasaan. Rasa-rasanya, apapun akan sanggup kita tantang dan kita labrak pada masa-masa demikian itu.
Tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum proses kelahiran kita itu. Hanya dari pengetahuan yang kita dapatkan sajalah kita baru tahu bagaimana rumit dan halusnya proses kelahiran itu. Dari setetes mani yang berisikan jutaan sel jantan, hanya satu sel saja yang sempat bertemu dengan sel pasangannya, dan kemudian berkembang menjadi setetes darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu dibentuk menjadi janin, dan pada ahirnya lahir sebagai manusia.
Bayangkan! Andai saja yang berkembang itu adalah sel yang lain, siapakah jadinya yang mendapatkan kesempatan waktu itu? Diri kita-kah yang lahir?

Jadi, tidakkah ini merupakan sebuah keberuntungan, bahwa kita telah diberi kesempatan untuk melihat dunia ini? Lalu, untuk apa? Untuk apa Tuhan menciptakan kita? Apakah hanya sekadar memenuhi sebuah keisengan belaka?
Cobalah sekali sekali kita menafakuri benda-benda di sekitar kita. Lihatlah sebuah kursi, misalnya, lalu berpikirlah, “Untuk apa orang membuat kursi ini?” Kita akan segera bisa menjawabnya, “Oh, kursi ini sengaja dibuat untuk menjadi tempat duduk”. Lalu lihatlah sebuah rumah, dan pikirlah, “Untuk apa orang membuat rumah ini?” Kita pun akan segera mendapatkan jawabannya, “Ah, rumah ini sengaja dibuat orang untuk bertempat tinggal”. Dari situ, kita akan mengerti bahwa setiap benda pun sengaja dibuat untuk maksud-maksud tertentu. Setelah itu tafakurilah diri kita sendiri, lalu berfikirlah, “Untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?”
Dapatkah kita menemukan jawabnya?
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar